Pasti banyak dari kita yang selalu bertanya-tanya, “Apakah
ini jodohku?” atau “Apakah dia yang dipersiapkan Tuhan untukku?”. Well, saya
gak bakal membahas tentang apa itu jodoh atau bagaimana caranya bertanya dengan
Tuhan tentang masalah itu.
Post ini saya dedikasikan special untuk seseorang yang
baru saja menghabiskan 19 jam dalam hidupnya untuk menggenggam tangan saya,
bahkan memeluk saya dan berbagi rencana masa depannya dengan saya. So proud for
being your Migi, babe.
Ada satu rahasia yang mungkin belum pernah saya
ceritakan. Petulangan mencari pasangan memang selalu menjadi pergumulan yang
kompleks, bagi sebagian kita. Dan kelelahan saya berakhir pada salah satu harapan
kecil dan doa singkat di ulangtahun yang ke 20th. Saya bercerita
pada Tuhan malam itu, saya mencurahkan segala unek-unek saya karena lelah
mencari pasangan yang tepat. Saya merasa belum pernah menemukan rasa sayang
sebesar saya menyayangi sosok pria di masa lalu. Saya terlalu fokus pada pria
itu, yang kini sudah lebih dulu menemukan bahagianya. Segala tentang perasaan
yang saya miliki, saya pikir itu adalah cinta.
Namun tahukah kamu, ada rasa diatas kata “sayang”
untuk mereka yang dipertemukan bukan karena saling mencari. Tapi karena merasa
sudah menemukan apa yang selama ini – bahkan tak sempat dicari. Saya gak tau
apa kata yang pas diatas kata “sayang”, tapi pastinya kata itu jauh lebih
tinggi dari kata “cinta”. Kalau boleh didefinisikan, saya akan menyebutnya “Hidari”.
Awal perkenalan dengan Hidari, bukan momen yang
harus dibanggakan. Hidari adalah sosok pria yang berhati dingin, berpikir terlalu
logis, selalu berkutat dengan isi kepalanya, egois, tak banyak bicara dan pembawaannya
yang sangat terstruktur sering membuat orang-orang disekitarnya merasa “terlalu”
segan. Kamu pasti tau kan arti kata “terlalu” segan? Ya, banyak orang yang
merasa takut untuk sekedar berbasa basi dengan Hidari. Seolah, semua yang layak
dibicarakan adalah hal yang penting.
Jangan kira saya tidak melewati masa itu. Saya cukup
sering mendapat respon singkat seperti “Go kill yourself” atau “Herew” dari
Hidari. Tapi seperti kalimat pembuka post ini. Bertemulah karena memang
dipertemukan. Lewat kesabaran kak Debrina sebagai Madame Tjoerhat terbaik, saya
dan Hidari perlahan tapi pasti mulai menemukan jalan untuk melangkah bersama.
Meski sangat lambat untuk menyadari perasaan yang ada, seenggaknya itu bukan
karena ragu. Melainkan menunggu untuk memastikan bahwa perasaan tersebut bukan
sementara. Atau bahkan kenyamanan sesaat.
Dibalik semua persepsi orang sekitar terhadap Hidari, saya menemukan sebuah kelembutan dan ekspresi kasih sayang yang cukup berbeda. Berawal dari pengikutsertaan nama saya dalam skripsinya, Hidari mulai berani membuka dirinya lebih. Saya mulai mengerti cara berpikir, kebiasaan dan ekspresinya. Namun kala itu, pertengkaran kecil dan nyaris berujung pada perpisahan, beberapa kali terjadi. Disana saya merasa bahwa “Cinta juga butuh status yang jelas”. Bukan karena legalitas untuk menyebut pasangan dengan panggilan sayang, bukan pula sebagai kebanggaan pribadi terhadap orang-orang disekitar, melainkan ciri pengikat agar tak ada ucapan, “Kita Cuma teman” atau “Kita bahkan belum mulai apapun” dalam hubungan.
ALERTS! Paragraf berikut akan berisi momen indah saya di kencan pertama. Terima kasih bila ingin membaca, silakan exit bila merasa tak begitu penting.
21 Agustus 2015 menjadi saksi perjuangan kami
melewati jarak Bandung-Bogor dan segala rutinitas, kesibukan, dan kondisi fisik
maupun keuangan. Hidari sampai di Bandung lebih awal satu jam dari yang kami
estimasikan. Tanpa rencana, segalanya berjalan sempurna. Saya bisa merasakan
genggaman tangan Hidari yang cukup kuat dan kelembutannya untuk bernegosiasi
dengan keinginan saya. Kami sangat banyak menghabiskan waktu dengan berjalan
berdua, sedikit menghiraukan kendaraan karena itu akan mengurangi intensitas
kami “benar-benar bersama”.
Diawali dengan makan siang bersama di Punclut. Kami
bahkan menyempatkan Video Call dengan kak Debrina. Kondisi saung yang sepi dan
tempat yang sedikit privat seolah dikhususkan untuk kami semakin akrab dan
semakin dekat. Disana, saya menemukan sisi hangat dan romantis Hidari.
Menyenangkan.
Berlanjut dengan mengitari jalanan Asia Afrika
hingga Braga, sejauh apapun itu rasanya tidak melelahkan karena Hidari terus
menggenggam tangan saya. Bercerita banyak hal. Tertawa, dan saya sempat
berpikir, pengguna jalan yang lain terus menerus melihat kearah kami. Tak
peduli apapun. Akhirnya kami masuk kedalam suatu pusat perbelanjaan, Braga City
Walk, dengan mulut kedinginan karena baru saja memakan masing-masing satu
setengah cone Ice Cream. Disana, saya melihat tatapan Hidari mengarah ke
jajaran Nendoroid yang saya juga gak begitu ngerti dan gak ngikutin games atau
filmnya. Dengan lembut dan tetap mempertahankan genggaman tangannya, “Ntar
sebelum balik, ke ATM yah..” katanya singkat.
Lalu perjalanan kembali di lanjutkan. Hingga tertuju
di bioskop. Niatan awalnya, hanya sekedar lihat film apa yang lagi tayang.
Seketika, ada Hitman: Agen 47 dan jam tayangnya 17.05 WIB! Kami disana tepat
pukul 16.55 WIB dan rasanya, semua berjalan lancar. Tak perlu mengantri terlalu
lama, kami langsung mendapatkan tiket dan duduk di posisi yang menurut saya,
cukup nyaman. Tidak terlalu atas, pula terlalu bawah. Setelah menonton, kami
kembali ke ATM terdekat dan membeli Nendoroid yang sejak tadi diincar Hidari.
Sepulangnya dari nonton dan berjalan-jalan. Kami
memutuskan untuk makan malam bersama. Nasi Uduk Cinta menjadi pilihan
selanjutnya. Letaknya di Jalan Dr. Radjiman Bandung, dekat dengan Istana Plaza
Pasir Kaliki. Disini ada bebek yang cukup laris dan menjadi incaran hampir
semua warga bagian Pasir Kaliki dan sekitarnya. Bukan hanya pasangan, keluarga
dan beberapa perkumpulan kecil dari gereja juga sering mengunjungi tempat ini.
Saya sempat bercerita tentang Nasi Uduk Cinta ke Hidari, dan malam itu, tak
hanya cerita, kami bahkan makan berdua. Rasanya lucu saat mengingat betapa
girangnya saya bercerita tentang Nasi Uduk Cinta ke Hidari, dan malam itu, kami
sama-sama melahap bebek goreng dan bebek bakar di warung pinggir jalan
tersebut.
Malam itu diakhiri dengan berbelanja beberapa hal ke
Borma Setiabudi dan mengantarkan Hidari ke kost-an salah satu teman blogger
yang tidak jauh dari kampus. Memastikan Hidari sudah kenyang, gizinya terpenuhi
dan cukup lelah. Saya benar-benar ingin dia langsung tidur malam itu. Saya lalu
pulang kerumah, dan menantikan momen “Advanture” sebagai tema kencan pertama
kami.
Paginya, 22 Agustus 2015, saya sengaja bangun cukup
pagi dan langsung bersiap menjemput Hidari. Sebelumnya, saya menyempatkan untuk
membawakannya sarapan karena Hidari harus “Makan Berat” tiap pagi. Berbeda
dengan saya yang cukup roti dan susu saja. Pukul 7 kurang beberapa menit, saya
sampai di kost-an tempat Hidari menginap. Menunggunya menghabiskan sarapan pagi
dan bersiap untuk Advanture kita. Bahagianya saya bisa melihat Hidari sepagi
ini.
Kami lalu sampai di Tebing Keraton sekitar pukul 9
pagi. Masih sepi, namun perjalanannya memang cukup melelahkan. Kami naik keatas
dengan menggunakan ojek. Diatas ojek pun, saya tetap menggenggam tangan Hidari
yang duduk dibelakang saya. Memastikan ia tidak akan terperosok jatuh kebawah.
Udara Dago Atas yang dingin tak menghalangi kami untuk menikmati pemandangan
indah dari atas Tebing Keraton. Menjelajahi tiap sisi Tebing dan memperhatikan
Hidari yang sibuk mengambil gambar. Dia tampak sangat menikmati perjalanan kami
dan sangat menikmati memandanginya dari segala sisi. Tebing Keraton yang indah,
untuk rasa yang indah. Cie.
Seusai menikmati keindahan Tebing Keraton, kami
berjalan turun menuju Gua Jepang di Tahura. Perjalanan turun memakan waktu
sekitar 30 menit dengan total jarak tempuh sekitar 2 km. Kami berjalan dengan
santai dan terus bercerita satu sama lain. Mendengar Hidari mulai membuka
banyak percakapan tentang hidupnya, keluarganya, teman-temannya dikantor, hingga
cerita-cerita masa depan. Lelah? Pasti. Apalagi dengan kondisi kaki yang masih
berbesi akibat kecelakaan bulan lalu. Tapi berdampingan dengannya, saya sudah
memutuskan untuk tetap berada disampingnya. Semoga ini selamanya.
Sampai dibawah, kami tidak langsung menuju Gua
Jepang. Kami memilih duduk dan mengganjal perut dengan membeli Roti Kukus serta
dua gelas kopi. Duduk di saung lesehan dan menertawakan perjalanan panjang
kami. Bahkan menertawakan cerita awal perkenalan kami. Segalanya saat itu
benar-benar terasa sempurna. Dan sayapun kembali tersentuh dengan celetuk
ringan Hidari dihadapan mbak-mbak beralis Sinchan yang menjagai warung tersebut
(maaf mba!), “Bahagia saya sudah bersama dia semuanya. Dikasih apapun, tetep
milihnya Dia” katanya sambil tertawa kecil dan memperat genggaman tangannya,
lalu menarik saya perlahan. Saya dengan sigap tersenyum kearah mba-mba warung
dan merangkul Hidari saya ini.
Tak lama, kami sampai di pintu masuk Tahura. Kami lalu
mengunjungi Gua Jepang yang berada tidak jauh dari pintu masuk. Diperjalanan,
kami melihat beberapa mulut Gua, namun tidak berani memasukinya. Hingga
akhirnya ada rombongan yang masuk, Hidari lalu menarik saya dan menyempatkan
menyewa senter karena Flashlight dari ponsel tidak cukup terang melawan
gelapnya gua Jepang. Kami menikmati suasana mencengkam dan gelap di Gua Jepang
dan tidak berpikir untuk berjalan sendirian terlepas dari rombongan. Hingga
seketika, saya melihat sesosok seram dan meminta Hidari untuk segera keluar
Gua. Kami lalu mengembalikan Senter yang kami sewa dan berjalan kearah Gua
Belanda. Di tengah perjalanan, ada seekor anjing lucu yang terikat dipohon.
Kakinya terlilit tali pengikat dan Hidari dengan apiknya seolah berbicara
dengan anjing tersebut. Saya sangat menikmati pemandangan ini. Kasih sayang
yang Hidari berikan seolah tulus hingga mampu membuat anjing yang dulunya
berperangai sangar kemudian melengus dan mematuhi kata-kata Hidari. Dia
benar-benar membuat saya jatuh cinta padanya.
Sesampainya di Gua Belanda yang jauh lebih pendek
dari Gua Jepang, kami memilih untuk menggunakan Flashlight dari ponsel untuk
menerangi perjalanan menyusuri Gua. Rupanya diujung Gua, ada tulisan Curug atau
Air Terjun. Tanpa memikirkan jarak yang akan kami tempuh, akhirnya saya dan
Hidari berjalan melewati jalanan terjal dengan mengacuhkan tawaran menggunakan
ojek. Perlahan tapi pasti kami berjalan, beberapa orang kami tanyai, jalanan
itu sepi dan rasanya cukup romantis karena berdua dengannya. Tapi! Setelah
sekitar 3 km kami berjalan, jam juga sudah menunjukkan pukul 13.30 WIB, kami
bertanya pada salah satu yang berjualan disana. KATANYA PERJALANAN INI BARU
SEPERTIGA JARAK KE AIR TERJUN! Gila! Kami bahkan belum makan siang. Saya melihat
ke Hidari, dia memang tampak kelelahan. Kami memutuskan kembali BERJALAN KAKI
sejauh 3 KM untuk sampai di mulut Gua Belanda. Pukul 2 tepat, kami sudah berada
di perjalanan menuju Cihampelas. Kami langsung makan disalah satu warteg dekat
parkiran karena pencernaan saya sangat bermasalah hasil makan tanpa kuah-kuahan
kemarin. Setelah makan, kami mencari buah semangka sebagai pencuci mulut. Lalu
saya mengarah ke Kartika Sari untuk membeli molen pisang bekal Hidari ke Bogor.
Bekal? Iya, setidaknya bukan untuk dia makan. Melainkan untuk “orang rumah”nya
agar Hidari tak kesulitan mendapat ijin mengunjungi saya dilain waktu.
Perjalanan 8 KM yang baru saja kami habiskan membuat kaki terasa pegal, saya
ingin sekali meminta Hidari mengundur kepulangannya. Tapi dia pasti akan
semakin kelelahan bila harus pulang hari Minggu dan kerja hari Senin.
Kami sampai di Ledeng sekitar pukul 14.55 WIB. Lima
menit lebih cepat dari permintaan Hidari yang ingin berangkat ke Leuwi Panjang
pukul 15.00 WIB. Hebatnya, DAMRI menuju Leuwi Panjang masih nyari berangkat dan
ada satu spot kosong untuk kami duduk berdua. Kebetulan yang sempurna untuk
kencan pertama. Pukul 15.00 WIB kami berangkat ke Leuwi Panjang. Disepanjang perjalanan,
kami bercerita banyak hal. Lagi dan lagi. Saling menggenggam dan saya menikmati
wajahnya dari dekat. Saya menyenderkan kepala saya dilengannya dan beberapa
kali mengutarakan keinginan saya agar dia tidak pulang kembali ke Bogor.
Perjalanan yang jauh, kami tidak memperdulikan orang
lain disekitar kami. Seketika saat melewati kawasan Otista Ujung. Sebuah
pertanyaan dari Hidari kembali mengejutkan saya. “Oh iya, sampai hari ini gue
belum nembak lo secara langsung ya?” katanya pelan dan lembut di telinga saya.
Saya yang saat itu sedang asik melihat ke arah jendela dan hanya menggenggam
tangannya saja, langsung menjatuhkan diri dalam rangkulan Hidari. Genggaman
tangan Hidari semakin kuat. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga saya dan
mengucapkan kalimat penuh cinta. Cie. Serius, dia berhasil melumpuhkan saya!
Untuk segala pertanyaan, saya bahkan tak sanggup menjawab. Hanya anggukan kecil
dan pelukan erat yang bisa saya berikan. Ia lalu mulai dengan sigap mendetail
segala rencana masa depannya. Saya cukup tertegun untuk beberapa menit terindah
dalam hidup saya. Caranya, belum pernah saya rasakan sebelumnya. Segala
perbincangan indah itu, harus saya akhiri dengan “Kita sama-sama berdoa dan
berusaha untuk jadi lebih baik lagi ya sayang. Sama-sama belajar untuk jadi
lebih dewasa dan yang terbaik untuk masing-masing..” karena saya pasti akan
menangis bahagia bila bahasan itu dilanjutkan.
Tak lama kemudian, DAMRI yang kami tumpangi sampai
di Leuwi Panjang. Gesit dan sedikit sedih harus mengantarkan Hidari pulang.
Kami saling menggenggam tangan erat, mencari bis yang akan membawanya ke
Cibinong. Hidari sempat berpesan untuk tidak melewati rute yang sama saat
kembali menunggu DAMRI. Saya hanya jawab “IYA” karena apapun itu, tak ada yang
bisa saya lakukan untuk menahannya. Ketemu! Barisan terdepan dan segera akan
berangkat, lagi! Hidari lalu meminta saya memilih kursi mana yang aman. Saya menjatuhkan
pilihan di kursi terdepan yang kosong. “Yah.. pulang sekarang..” gerutu saya
pelan. Hidari lalu menatap saya dan memeluk saya erat. Sangat erat! Saya
berusaha menahan air mata untuk melepasnya. “See you next month” kata saya
sebelum keluar bis. Saya menolak melihatnya saat itu.
Saya mengambil rute yang sama sambil sesenggukan
untuk kembali ke mengantri DAMRI. Rupanya DAMRI yang kami naiki tadi adalah
DAMRI terakhir. Saya langsung masuk kedalamnya dan saat jalan, saya melihat
banyak pesan dari Hidari. Saya tidak sanggup lagi menahan air mata saya. 19 jam
yang sempurna! Kami berpisah tepat di pukul 5 sore. Benar-benar kurang untuk
mengganti sebulan tanpa kencan. Kini kembali berharap pada provider yang kami
gunakan untuk memperbagus sinyal sehingga tidak mengurangi kualitas dan
intensitas komunikasi kami.
Well, babe. This is the post that you requested the
most. 2208 words for you and our August, 22nd. I really want us to
last and waiting for you is lovely. You are worth for every single seconds in my
life. Thank you for being my Hidari. And, for all the efforts, that must be
really sweet! I love you, in the name of every single “Wellington” in this
space!
SUPER XOXO,
Your Migi
Posting Komentar