Just One Day - Gak Akan Pernah Cukup

source available here
 Ditinggal pas lagi sayang-sayangnya emang gak pernah enak. Apalagi udahlah ditinggal, gak dikasih penjelasan apapun pula.
---

It is my fault for not write anything here, since Tumblr looks perfect to me in my hectic. But please don't get it wrong, I just have some problem with this page. Some cookies trapped me and I don't know how to make it right. Well, thanks Bobby to make it live again!

Saya menikmati hidup dengan sangat normal seperti biasanya sejak terakhir kali menulis. Well, it was exactly a year ago since I post my thought here. Cukup banyak hal keren terjadi dan pengalaman-pengalaman seru (walau kadang ada gak serunya) yang saya lewati. Sekiranya kamu ingin bermain-main dirumah baru saya di Tumblr, sila cari "Veroblandine on tumblr" di mesin pencari Google. You will get what you want.

But now, ada sebuah alasan yang membuat saya kembali. Sesuatu yang terus memanggil dengan kenangan-kenangan indah. Memang tak akan pernah mungkin kita selamanya berlari dari kenangan, bukan? Alasannya adalah Gayle Forman. Wait, what? Gayle Forman. The writer.

Beberapa buku yang debut miliknya adalah Leave Me, If I Stay, dan Where She Went. Saya pribadi menyukainya semenjak If I stay difilm-kan di Indonesia. Well, that's amazing! Saya yang tidak terlalu suka dengan jalur cerita manja dan sedih seolah teriris, tercabik, sekaligus kesal dengan cara Forman berpikir melalui tulisan-tulisannya.

Kali ini saya akan menulis tentang ketiga buku series Gayle Forman yang berhasil membuat saya tidak bisa tidur berhari-hari karena menunggu kiriman yang selalu terlambat datang dari sebuah toko buku. If only you know how much I starve to read them.

Forman, G. Just One Day (2013)

Sepertinya Forman memang sedang dilanda kasmaran. Diusianya yang tidak lagi muda, wanita paruh baya ini terlihat menggemari kisah cinta dewasa yang cenderung dikemas secara millenials. Saya pribadi sangat menyukai gaya berbahasa Forman. Tapi layaknya cinta, kadang semakin kau menyukainya, semakin kau harus melepasnya.

Membenci, memaki bahkan menudingnya dengan berbagai hal yang sebenarnya hanya perasaan singkat pembaca.

Cerita berawal dari Allyson, seorang remaja wanita polos yang plin-plan dan gampang terbawa suasana. Kecerobohannya dan rasa ingin tahu yang meliputi jiwa mudanya mendapat sambutan hangat dari orang tua dan kerabat dekatnya. Namun, sambutan hangat itu harus berakhir menjadi petaka (atau nasib baik?) yang membuatnya mengenal Willem.

Willem adalah salah seorang aktor jalanan yang sangat menghargai pertunjukan seni. Oh ya, saya melewatkan sesuatu. Cerita ini berlatar di Belanda. Jangan berpikir bahwa Willem adalah seorang aktor figuran seperti di Indonesia. Tidak! Di Belanda, pengamen tidak hanya berprofesi sebagai penyanyi jalanan saja. Kalau anda beruntung, anda bisa mendapat kesempatan untuk menyaksikan drama oleh seniman jalanan yang terkesan serupa. Kalau di Indonesia, sih yang mereka lakukan ini cenderung mirip seperti srimulat komedi. Namun disana, para aktor maupun aktris jalanan akan benar-benar serius dalam menghapal dialog maupun memerankan adegannya sehingga terlihat asli.

Sebagai wanita sih, saya juga menyukai karakter Willem yang ada fantasi saya. Sesosok lelaki berperawakan manis, bertubuh tinggi, romantis namun cuek. Caranya mendekati Allyson bener-bener jauh dari cara-cara pria di Indonesia yang lagi pdkt. Melemparkan uang koin pada saat dia berpentas, bahkan memberikan nama panggilan untuk Allyson tanpa mengetahui nama lengkapnya. Lulu, ya, Allyson akan lebih dikenal dengan Lulu dicerita ini.

Jatuh Cinta sama Gembel

Tapi, sebagai wanita pula. Saya, (hela napas), benci dengan karakter Allyson yang sangat ceroboh dan tidak berpikir panjang. Demi segala apapun kemajaan wanita yang kerap dijadikan masalah untuk para pria, seorang gadis Amerika yang notabene masih perawan dan bahkan belum berpengalaman dalam berpacaran, menyetujui sebuah perjalanan jauh bersama seorang pria yang baru dikenalnya ke Paris. Lebih parahnya lagi, pria itu rupanya hanya seorang homeless (gembel -red) yang hidupnya luntang-lantung bahkan untuk makan sajapun masih belum sempurna.

Gelora jiwa muda yang dimiliki Allyson benar-benar mematikan. Kalau saja Allyson tinggal di Indonesia, saya yakin dengan kesadaran penuh bahwa berita tentangnya sudah akan tersebar viral diseluruh sosial media. Sebut saja Line, Twitter, Facebook, Instagram, bahkan mungkin akan ada buzzer SJW (akan saya ceritakan tentang apa ini SJW di post lainnya) yang akan turut memosting berita tentangnya. Setelah ditemukan, Allyson akan berakhir dengan keadaan ringsek, tak perawan dan hancur berantakan. Iya, kalau saja itu di Indonesia.

Tapi, Allyson, bagaimanapun juga hanya seorang tokoh fiktif yang merepresentasikan kehidupan dan gelora jiwa remaja yang memuncak.

Novel series pertama yang ditulis Gayle Forman ini memang dapat dikategorikan dewasa. Banyaknya penggunanaan diksi yang kurang asik saat diterjemahkan membuat ceritanya jadi kurang panas. Saran saya sih, baiknya kamu membaca versi aslinya daripada terjemahan. It worth your pennys. Saya bahkan tidak bisa berhenti walau sejenak saat membacanya. Semua kata yang tertulis dalam buku dapat membawa saya pergi jauh seolah saya berada dalam cerita. Rasa candu akan setiap cerita yang sulit ditebak dan tergila-gilanya saya pada karakter bad boy-nya Willem akan membawa kamu terbang jauh ke fantasi akan cinta satu malam yang sulit dilupakan.